Hallo kembali lagi dengan saya untuk nge-post tugas softskill ini.
Tugas saya kali ini adalah menceritakan pengalaman pribadi saya mengenai sikap
menghargai. Seperti apa ceritanya? Yuk di-scroll
aja kebawah...
Sikap
menghargai orang lain atau toleransi. Ya, kata toleransi memang sudah tidak
asing lagi ditelinga kita. Arti toleransi sendiri menurut saya adalah
menghargai atau menghormati setiap tindakan yang orang lain lakukan. Menghargai
orang lain merupakan salah satu cara agar kita dapat menjalin hubungan
pertemanan dengan dunia luar. Ketika kita menghargai orang lain, secara tidak
langsung orang tersebut akan merasa bahwa kita bisa mengerti tentang kekurangan
pada dirinya. Dengan menghargai orang lain, kekurangan yang ada di diri kita
pun akan di hargai pula oleh orang lain.
Selain
untuk menjalin pertemanan, sikap toleransi juga dapat menumbuhkan sikap
tolong-menolong di dalam diri seseorang. Misalnya ketika kita menghargai jerih payah
teman, maka ia pun akan senantiasa membantu kita sehingga kita dapat melakukan
apa yang sebelumnya kita tidak bisa. Karena pada hakikatnya, manusia adalah
makhluk sosial, makhluk yang di dalam hidupnya tidak bisa melepaskan diri dari
pengaruh manusia lain. Tanpa
bantuan orang lain, kita tidak mungkin bisa berjalan dengan tegak dan dapat mengembangkan
seluruh potensi kita.
Menghargai orang lain dapat
dilakukan mulai dari hal kecil seperti menghargai keluarga dirumah, saudara,
dan teman. Ketika rasa menghargai orang lain sudah muncul didalam diri kita
maka kita akan mudah menerapkannya didalam dunia luar seperti dunia
kerja, dan lain-lain.
Disini saya akan menceritakan
beberapa pengalaman saya mengenai sikap menghargai orang lain. Ketika saya masih
duduk di bangku SMA, saya merupakan anggota Pramuka disekolah. Pramuka kami
akan merayakan HUT Gudep dengan mengadakan lomba yang mengundang sekolah lain
baik tingkat siaga, penggalang, maupun racana. Beberapa hari sebelum lomba
dimulai, kami mengadakan Technical
Meeting dengan pembina dari para peserta. Pada saat itu saya menjadi
panitia lomba tingkat SD dan memegang acara technical
meeting. Ketika technical meeting dimulai,
ada salah satu pembina yang meminta kepada panitia untuk merubah salah satu
kegiatan agar lebih dipermudah karena murid mereka masih anak-anak. Untuk menanggapi
hal tersebut, kami pihak panitia mempertimbangkan dan menghargai pendapat dari
salah satu pembina tersebut. Pada akhirnya telah diputuskan untuk merubah
skenario kegiatan dan pambina tersebut merasa senang karena pendapatnya telah
didengar dan dihargai oleh panitia.
Cerita kedua masih sama
dengan perlombaan HUT Gudep di sekolah saya. Tetapi kali ini saya tidak menjadi
koordinator lomba, saya hanya panitia yang menjaga pos. Di posisi ini, saya
mengajar pramuka untuk anak SD sedangkan saya juga termasuk dalam bagian
panitia lomba. Untuk menghargai pendamping peserta lain dan menghindari fikiran
mereka yang mengira saya akan berbuat curang, akhirnya saya menjadi panitia di
pos SMP sedangkan murid saya tetap diikutsertakan lomba Gudep dengan tidak dampingi
selama perlombaan berlangsung. Begitulah cara saya dan anggota pramuka lain
untuk bersikap profesional dilapangan dan Alhamdulillah tidak ada protes
pendamping peserta dalam hal ini.
Pengalaman pribadi saya yang
lain adalah saat saya dan kawan-kawan mengajak anak murid untuk mengikuti lomba
antar TPA (Pengajian Anak-anak), kami memilih beberapa murid kami yang
sekiranya mampu di ajukan untuk perlombaan sesuai bidangnya. Setelah mendapatkan
beberapa anak, ternyata ada salah satu orang tua murid yang merasa keberatan
karena anaknya tidak diajak berlomba. Telah kami jelaskan panjang lebar dan
orang tua tersebut masih saja mengelak. Kemudian kami tes kembali anak tersebut
dan sekarang tesnya di hadapan orang tua murid tadi. Ternyata memang anak
tersebut tidak banyak menghafal surat-surat pendek ataupun doa-doa. Orang tua
tersebut tetap mengelak dan meminta kami untuk mengikut-sertakan anaknya dalam
bidang mewarnai. Dengan terpaksa kami menolaknya karena umur anak tersebut
tidak masuk kriteria dalam lomba mewarnai. Setelah berdiskusi cukup lama antara
orang tua dan seluruh panitia maupun ketua masjid, akhirnya orang tua tersebut
menyerah. Untuk menghargai orang tua tersebut, akhirnya kami mengajak anak-anak
murid ke lokasi perlombaan walaupun mereka tidak ikut lomba.
Cerita lain saat saya mulai
kuliah. Saya mulai merasakan menjadi anak kost-an. Bertemu dengan teman kost
dari berbagai daerah dan agama yang berbeda. Ada yang datang dari medan,
pelabuhanratu, semarang, cirebon, serta purwokerto. Ada 2 teman saya yang
beragama kristen. Agar pertemanan terasa nyaman, kita harus saling menghargai
perbedaan. Entah itu menghargai kebiasaan hidup karena kita datang dari daerah
yang berbeda, menghargai perbedaan pendapat dan lain sebagainya. Saat kita
ingin jalan-jalan di hari Minggu, 2 teman saya tidak bisa berangkat pagi
dikarenakan dia harus beribadah terlebih dahulu. Dan apabila bulan Ramadhan
telah datang, teman saya dapat menghargai saya yang tengah berpuasa. Lalu saat
adzan Maghrib mulai berkumandang, tidak hanya kami yang berpuasa untuk berbuka,
tetapi teman yang beda agama ini pun ikut makan bersama kami. Kami telah
terbiasa melakukan banyak hal bersama-sama. Entah itu makan selalu bersama
kalau kita lagi dikost-an, tidur tidak sendiri-sendiri dikamar masing-masing
(terkadang tidur dikamar siapa saja bergantian), tertawa bersama, sedih
bersama. Tidak memandang perbedaan diantara kami.
Saya rasa sudah cukup panjang
cerita saya kali ini. So, semakin sering kita menghargai orang lain maka
semakin sering pula kita dihargai oleh orang lain. Indahnya perbedaan jika kita
dapat menghargai perbedaan tersebut. Sekian dari saya. Jangan pernah bosan
untuk membacanya J
Comments
Post a Comment