Manusia dan Keadilan

A.    MAKNA KEADILAN
Manusia sebagai makhluk Tuhan adalah makhluk yang tertinggi yang mamiliki gejala-gejala istimewa yang hanya terdapat pada benda mati ataupun benda manusia saja, dan tidak terdapat pada manusia saja, dan tidak terdapat pada benda mati ataupun benda hidup seperti pada hewan ataupun pada tumbuh-tumbuhan. Gejala-gejala istimewa itu bisa digolongkan menjadi tiga jenis yang disebut akal,rasa dan kehendak akal.
Manusia sebagai makhluk Tuhan memiliki sifat kodrat yaitu sifat kodrat perseorangan atau juga disebut makhluk pribadi (individu) dan sifat kodrat masyarakat atau disebut makhluk sosial.
Di dalam istilah filsafat, kedua sifat kodrat manusia ini disebut sifat kodrat modualis manusia. Ditinjau dari segi kepentingan hidupnya, mansia sebagai makhluk pribadi mengatur hubungannya untuk kepentingan diri sendiri, sedangkan manusia sebagai makhluk sosial mengatur hubungannya antara manusia yang satu dengan manusia yang lainnya.
Di dalam mengatur hubungan kodrat manusia ini perlu adanya ini keserasian, keseimbangan, kesesuaian ataupun kesamaan dalam tingkah laku baik untuk kepentingan pribadi ataupun kepentingan masyarakat. Kemampuan yang demikian itu menjelma sebagai tingkah laku adil yang kemudian menjadi tujuan umat manusia dalam mengatur kehidupannya. Oleh sebab itu tingkah laku adil atau menjadi tumpuan harapan manusia, semua orang menghadapi keadilan.
Keadilan adalah pengakuan dan perlakuan yang seimbang antara hak dan kewajiban. Jika kita mengetahui hak hidup kita, maka sebaiknya kita wajib mempertahankan hak hidup tersebut dengan bekerja keras tanpa merugikan orang lain. Sebab orang lainpun  mempunyai hak seperti itu. Jadi keadilan pada pokoknya terletak pada keseimbangan atau keharmonisan antara menuntut  hak dan menjalankan kewajiban.
Berdasarkaan kesadaran etis, kita diminta untuk  tidak hanya menuntut hak dan duka menjalankan kewajiban jika kita hanya menuntut hak dan lupa menjalankan kewajiban maka sikap dan tindakan kita akan mengarah kepada pemerasan dan memperbudak orang lain. Sebaiknya jika kita hanya menjalankan kewajiban dan lupa menuntut hak maka kita hanya menjalankan kewajiban dan lupa menuntut hak maka kita akan mudah diperbudak atau diperas orang lain. Sebagai contoh, seseorang karyawan yang hanya menuntut hak kenaikan upah dan tanpa meningkatkan hasil kerjanya, tentu cenderung disebut pemeras sebaliknya jika seorang majikan yang terus-menerus memeras tenaga orang lain, tanpa memperhatikan kenaikan upah dan kesejahteraannya maka perbuatannya itu semua merupakan suatu ketidakadilan.
Dengan keinsyafan dan kesadaran akan keadilan, kita akan mampu memenuhi cipta rasa dan kasra manusia terhadap sesama atau pihak lain, sehingga akan membentuk hati nurani manusia, yang kita sebut: cinta kasih. Keadilan dan cinta kasih ini merupakan sikap tingkah laku yang dapat dipisah-pisahkan. Keduanya saling berhubungan dan saling mengisi. Diantara keadilan dan cinta kasih terdapat sendi pokok tingkah laku manusia yang mewujudkan perasaan hati nurani manusia untuk mempertimbangkan, bilamana perlu memberanikan diri untuk mengurangi hak-hak sendiri. Bahkan demi keadilan dan cinta kasih, manusia rela mengurangi dan bahkan mengorbankan hak-haknya sendiri untuk kepentingan umum atau untuk kepentingan negara dan bangsanya, tingkah laku inilah yang dinamakan “rela berkorban”. Kedilan itu sendiri tidak pernah berubah makna dan prinsipnya; yang berubah hanyalah bagaimana cara seseorang menafsirkannya, yang berubah hanyalah bagaimana cara pelaksanaannya.
Apabila seseorang ataupun golongan hanya mementingkan hak dan kewajiban sendiri tanpa memirkirkan kepentingan orang lain atau pun golongan lainnya, terjadilah kedilan semu.
Misalnya saja:
a.       Pengusaha : bagi mereka menamakan adil, apabila keuntungan terbesar jatuh pihak pedagang
b.      Buruh        : bagi buruh menganggap adil apabila dibayar pada waktunya dan keuntungan perusahaan juga dibagi wajar pada kaum buruh.
c.       Golongan demokrat          : menganggap adil apabila kepentingan rakyat selalu diutamakan.
d.      Golongan komunis            : menganggap adil sekiranya hak milik perseorangan ditiadakan.

Khong HUTSU, seorang filosof Cina menuturkan tentang keadilan dan berpendapat sebagai berikut: “Bila anak sebagai anak, bila ayah sebagai ayah, bila raja sebagai raja, masing-masing telah melaksanakan kewajibannya, maka itulah kewajiban”.
Aristoteles mengatakan bahwa keadilan adalah suatu kelayakan dalam tindakan manusia. Kemudian pidato menganggap bahwa keadilan itu merupakan kewajiban tertinggi dalam kehidupan negara yang baik, sedangkan orang yang adil adalah orang yang mampu mengendalikan diri, perasaannya dikendalikan oleh akal sehat.
Agar pengertian kita tentang adil marilah kita baca batasan  adil menurut “Ensikloperli Indonesia”, adalah:
1.      Tidak berat sebelah atau tidak memihak kesalah satu pihak
2.      Memberikan sesuatu kepada setiap orang sesuai dengan hak yang harus diperolehnya.
3.      Mengetahui hak dan kewajiban, mengerti mana yang benar dan mana yang salah, bertindak yang jujur yang tepat menurut peraturan atau syarat dan rukun yang telah ditetapkan. Tidak sewenang-wenag dan tidak maksiat atau berbuat dosa.
4.      Orang yang berbuat adil, kebalikan dari fasiq. Adil adalah sendi pokok di dalam soal hukum, setiap orang harus merasakan keadilan. Perbedaan tingkat dan kedudukan sosial, perbedaan derajat dan keturunan, tidak boleh untuk dijalankan alasan untuk memperbedakan hak seseorang dihadapan hukum, baik hukum Tuhan maupun hukum yang dibuat manusia. Adil diperintahkan oleh Tuhan: “Dan jika kamu memutuskan perkara, hukumlah antara mereka dengan adil, sesungguhnya Allah cinta kepada orang-orang yang berbuat adil”. (Q. S. Al-Maidah; 42).

Ditinjau dari bentuk apapun sifat-sifatnya, keadilan dapat dikelompokkan menjadi tiga jenis:

1.      Keadilan legal atau keadilan moral.
Pidato berpendapat bahwa keadilan dan hukum merupakan subtansi rohani umum dari masyarakat yang membuat dan menjaga kesatuannya. Dalam suatu masyarakat yang adil setiap orang menjalankan pekerjaannya yang menurut sifat dasarnya paling cocok bagiannya. Pendapat pidato itu disebut keadilan moral, sedangkan sunoto menyebutkan keadilan legal.

2.      Keadilan komutatif.
Keadilan ini bertujuan memelihara ketertiban masyarakat dan kesejahteraan umum. Bagi Aristoteles pengertian keadilan itu merupakan asas pertalian dan ketertiban dalam masyarakat.
Keadilan dan ketidakadilan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia kerena dalam kehidupannya manusia menghadapi keadilan/ ketidakadilan setiap hari. Oleh sebab itu, keadilan dan ketidakadilan menimbulkan daya kreatifitas manusia. Banyak hasil seni luar dan imajinasi ketidakadilan, seperti seni drama, seni puisi, novel, musik, film, filasafat, dan lain-lain.
Dalam kehidupan sehari-hari sering terjadi orang “menghakimi sendiri”. Perbuatan itu sama halnya dengan mencapai “keadilan” sendiri, yang akibatnya “ketidakadilan” bagi yang “dihakimi”. Pada hakikatnya keadilan-keadilan tercipta mewujudkan masyarakat yang adil, sejahtera, dan sentosa.

B.     KEADILAN SOSIAL
Berbicara tentang keadilan, kita ingat pada pancasila. Sila kedua: “ kemanusiaan yang adil dan beradab”. Dan sila kelima: “keadilan sosial adalah langkah yang menentukan untuk melaksanakannya indonesia yang adil dan makmur”.
Panitia ad-hoc MPRS tahun 1966 memberikan perumusan sebagai berikut: “sila keadilan sosial mengandung prinsip bahwa setiap orang di indonesia akan mendapat perlakuan yang adil dalam bidang hukum, pilitik, ekonomi, dan kebudayaan”.
Selanjutnya untuk mewujudkan keadilan sosial untuk diperinci perbuatan dan sikap yang perlu di pupuk yaitu:
a.         Perbuatan luhur yang mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan kegotongroyongan.
b.         Sikap adil terhadap sesama, menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban serta menghormati hak-hak orang lain.
c.         Sikap suka memberi pertolongan kepada orang yang memerlukan
d.        Sikap suka bekerja keras
e.         Sikap menghargai hasil karya orang lain yang bermamfaat untuk mencapai kemajuan dan kesejahteraan bersama.

Asas yang menuju terciptanya keadilan sosial itu akan dituangkan dalam berbagai langkah dan kegiatan, antara lain: memalui 8 jalur pemetaraan, yaitu:
a.       Pemenuhan kebutuhan pokok rakyat banyak, pemerataan khususnya pangan, sandang dan perumahan
b.      Pemerataan memperoleh pendidikan dan pelayanan kesehatan
c.       Pemerataan pembagian pendapat
d.      Pemerataan kesempatan kerja
e.       Pemerataan kesempatan berusaha
f.       Kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan, khususnya bagi generasi muda dalam kaum wanita
g.      Pemerataan penyebaran pembangunan diseluruh wilayah tanah air, dan
h.      Pemerataan memperoleh keadilan

Dengan pelaksanaan 8 jalur Pemerataan itu dimaksudkan pemerintahan penyejahteraan negara dan bangsa, seperti yang dikatakan Ki Dalang: “Negara yang sangat terkenal tinggi kewibawaanya, makmur, teratur, aman tenteram dan sejahtera”.

C.    KEJUJURAN
Jujur atau kejujuran berarti apa yang dikatakan seseorang sesuai dengan hati nuraninya. Jujur berarti pula menempati janji atau menempati kesanggupan, baik yang telah terlahir dan kata-kata maupun yang masih di dalam hati (niat). Jadi, seseorang yang tidak menempati niatnya berarti mendustai dirinya sendiri. Apabila niat tadi telah terlahir dalam kata-kata, padahal tidak tepati maka kebohongannya disaksikan orang lain.
Berbagai macam hal yang menyebabkan orang berbuat tidak jujur. Mungkin karena tidak rela, mungkin karena pengaruh lingkungan. Karena sosial ekonomi, karena ingin populer, karena sopan santun, dan untuk mendidik.
Untuk mempertahankan suatu kejujuran, berbagai cara dan sikap perlu dipupuk. Namun, demi sopan santun dan pendidikan, orang diperbolahkan berkata tidak jujur sampai pada batas-batas yang dapat dibenarkan.
Maka dari sekarang belajarlah bersifat jujur, sebab kejujuran mewujudkan keadilan, sedangkan keadilan maupun kemuliaan adalah abadi. Jujur memberikan keberanian dan ketentraman hati, serta menyucikan, lagi pula membuat luhurnya budi pekerti. Seseorang mustahil dapat memeluk agama dengan sempurna, apabila lidahnya tidak suci. Teguhlah pada kebenaran, sekalipun kejujuran dapat merugikanmu, serta jangan lupa mendusta, walaupun dustamu menguntungkanmu.
Pada hakikatnya jujur atau kejujuran yang ditandai oleh kesadaranmoral yang tinggi, kesadaran pengakuan akan adanya hak dan kewajiban, serta adanya rasa takut terhadap dosa kepada Tuhan.

D.    KECURANGAN
Kecurangan atau curang identik dengan ketidakjujuran atau tidak jujur, dan sama pula dengan lirik, meskipun tidak serupa benar. Sudah tentu kecurangan sebagai lawan jujur.
Curang atau kecurangan artinya apa yang dikatakan tidak sesuai dengan hati nuraninya. Atau orang itu memang dari hatinya sudah berniat curang dengan maksud memperoleh keuntungan tanpa bertenaga dan susah? Sudah tentu keuntungan itu diperoleh dengan tidak wajar. Mereka yang berbuat curang menganggap akan mendatangkan kesenangan atau keenakan, meskipun orang lain menderita karananya.
Kecurangan menyebabkan manusia menjadi serakah, tamak, ingin menimbun kekayaan yang berlebihan dengan tujuan agar di anggap sebahagai orang paling hebat, paling kaya, dan senang bisa masyarakat disekalilingnya hidup menderita. Orang seperti itu biasanya tidak senang bila ada melebihi kekayaannya. Padahal agama apapun tidak membenarkan orang mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya tanpa menghiraukan orang lain, lagi pula mengumpulkan harta dengan jalan curang. Hal semacam itu dalam istilah agama tidak di ridhai Tuhan.
Bermacam-macam orang melakukan kecurangan. Ditinjau dari hubungan manusia dengan alam sekitarnya, ada empat aspek yakni aspek ekonomi, kebudayaan, peradaban, dan tekhnik. Apabila keempat aspek tersebut dilaksanakan secara wajar, maka segalanya akan berjalan sesuai dengan norma-norma moral atau norma hukum.
Tentang baik dan buruk ini Pujowiyatno dalam bukunya: “Filsafat sana-sini”, menjelaskan bahwa perbuatan yang sejenis dengan perbuatan curang, misalnya berbohong, menipu, merampas, memalsu, dang yang lainnya adalah bersifat buruk. Lawan buruk sudah tentu baik. Baik buruk itu berhubungan dengan kelakuan manusia.
Kecurangan dan sifat-sifat jahat yang serupa seperti penipuan, pemalsuan, pembohong, perampokan dan lain-lain merupakan bagiab hidup manusia. Setiap hari manusia menghadapi hal-hal buruk itu dalam bentuk yang berbeda-beda. Bermacam ragam orang berbuat curang dan sungguh luas kawasannya; cara dan kawasan itu sesuai dengan kemajuan teknologi dan kebutuhan hidup manusia.
Selain dari pada itu, kehidupan selalu ada baik dan buruk. Dalam konflik, yang baik selain menang, meskipun pada mulanya kalah, yang baik itulah yang sesuai dengan kata hati. Seperti halnya Rahwana yang tidak baik, maka adiknya Kumbakarna dan Wibisana tidak mau membela yang tidak baik karena kedua adiknya mengikuti kata hatinya.
Kecurangan banyak menimbulkan daya kreatifitas bagi seniman. Oleh karena itu, banyak hasil seni yang lahir dari imajinasi kecurangan. Hasil selain itu, antara lain seni tari, sastra, drama, film, filsafat dan lain-lain.


E.     PEMULIHAN NAMA BAIK
Nama baik merupakan salah satu tujuan utama orang hidup. Nama baik adalah nama yang tidak tercela. Setiap orang menjaga hati-hati agar namanya tetap baik.
Ada pribahasa yang berbunyi: “dari pada berputih mata lebih baik berputih tulang”, artinya orang lebih baik mati dari pada malu. Betapa besar nilai nama baik itu sehingga nyawa menjadi taruhannya. Setiap orang tua selalu berpesan kepada anak-anaknya: “ jagalah nama keluargamu”. Dengan menyebut “ nama” berarti sudah mengandung arti “nama baik”.
Penjagaan nama baik erat hubungannya dengan tingkah laku atau perbuatan. Atau boleh dikatakan nama baik atau tidak baik itu adalah tingkah laku atau perbuatannya yang dimaksud dengan tingkah laku atau perbuatan itu, antara lain berbahasa, cara bergaul, sopan santun, disiplin pribadi, cara menghadapi orang, perbuatan-perbuatan yang di halalkan agama dan sebagainya.
Tingkah laku atau perbuatan yang baik dengan nama baik itu pada hakikatnya sesuai dengan kodrat manusia, yaitu;
a.       Manusia menurut sifat dasarnya adalah makhluk moral.
b.      Ada aturan-aturan yang berdiri sendiri yang harus dipatuhi manusia untuk mewujudkandirinya sendiri sebagai pelaku moral tersebut.

Pada hakikatnya, pemulihan nama baik adalah kesadaran manusia akan segala kesalahannya; bahwa apa yang diperbuatnya tidak sesuai dengan ukuran moral atau tidak sesuai akhlak.
Akhlak berasal dari bahasa Arab akhiaq bentuk jamak dari khuluq dan dari akar kata khiaq yang berarti penataan. Oleh karena itu, tingkah laku dan perbuatan manusia harus disesuaikan dengan penciptanya sebagai manusia. Untuk itu, orang harus bertingkah laku dan berbuat sesuai dengan akhlak yang baik.
Ada tiga macam godaaan yaitu; derajat/ pangkat, harta dan wanita. Bila orang tidak dapat menguasai hawa nafsunya, maka orang akan terjerumus kejurang kenistan karena untuk memiliki derajat/ pangkat, harta dan wanita itu dengan mempergunakan jalan yang tidak wajar. Jalan itu antara lain, fitnah, pembohong, suap, mencuri, merampok, dan menempuh semua jalan yang di haramkan.
Ada godaan halus yang bahasa Jawa, adigang, adingung, adiguna, yaitu membanggakan kekuasaannya, kebesarannya. Semua itu mengandung arti kesombongan.
Untuk memulihkan mana baik, manusia harus taubat dan minta maaf. Tobat dan minta maaf tidak hanya dibibir, melainkan harus bertingkah laku yang sopan, ramah; membuat budi darma dengan memberikan kebajikan dan pertolongan kepada sesama hidup yang perlu ditolong dengan penuh kasih sayang, tanpa pamrih, takwa kepada Tuhan, dan mempunyai sikap rela, tawakal, jujur, adil dan budi luhur selalu dipupuk.

F.     PERHITUNGAN (HISAB) DAN PEMBALASAN

1.      Hisab, Puncak Penerapan Keadilan Ilahi
Allah SWT memiliki sifat kesempurnaan. Salah satu dari sifat-sifat kesempurnaan-Nya ialah keadilan dan kebijaksanaan. Dia adalah Maha Adil dan tidak akan menganiaya ataupun merugikan seorang pun dari seluruh makhluknya. Dia Maha Bijaksana, maka dia tidak akan meletakkan sesuatu itu bukan pada tempatnya.
Setengah dari keadilan dan kebijaksanaan Allah SWT adalah bahwa Dia tidak akan mempersamakan antara orang yang berbakti dan taat dengan orang kafir dan durhaka, antara orang mukmin dan orang musyrik, juga antara orang yang berbuat baik dan berbuat buruk dan demikian seterusnya.
Allah SWT telah mengutus para Rasul-Nya dengan membawa keterangan-keterangan yang jelas dan bukti-bukti yang nyata. Mereka diberi kitab suci serta keagamaan, agar dipergunakan untuk berbuat yang seadil-adilnya antara seluruh umat manusia.

2.      Tata Cara Pelaksanaan Kitab
Setelah Allah SWT menghidupkan seluruh makhluk dengan gaya baru, lalu mereka di kumpulkan di sisi-Nya. Mereka digiring untuk berkumpul di padang masyar. Perlunya ialah setiap orang akan dihisap (akan diperhitungkan amalnya), baik yang berupa kebaikan maupun keburukan. Bumi pun akan menjadi saksi atas hal-hal yang terjadi diatasnya. Hal ini jelas disebutkan dalam Firman Allah SWT: “Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang”.
Apabila bumi digoncangkan dengan kegoncangan yang hebat. Dan bumi mengeluarkan isi kandungannya. Dan manusia mengatakan: ada apakah itu?. Pada hari itu bumi menceritakan peristiwanya. Karena sesungguhnya Tuhan mu telah mewahyukan padanya.
Pada hari itu manusia bangkit dengan bermacam-macam, agar kepada mereka itu dapat diperlihatkan amalan-amalan yang sudah-sudah. Maka barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat debu, ia akan melihatnya. Dan barang siapa yang mengerjakan keburukan, sekalipun sebesar debu, ia juga akan melihatnya. (Q. S. Zilzal: 1-8).
Sebagaimana bumi itu menceritakan peristiwa-peristiwa tentang diri manusia itu masing-masing maka lidah, tangan, kaki, dan kulitnya sendiripun menjadi saksi atas perbuatan diri pribadinya.
Di ceritakan dari Ibnu Abbas ra, katanya: “pada suatu ketika Rasulullah SAW berdiri dihadapan kita semua untuk memberikan suatu nasihat”. Lalu Rasulullah SAW bersabda: “Hai sekalian manusia, sesungguhnya kamu semua akan dikumpulkan kepada Allah SWT nanti dengan tidak beralas kaki, telanjang dan tidak berkain”. Sebagai mana Firman Allah SWT: “Sebagaimana dahulu mula-mula kami menciptakan untuk pertama kalinya. Itulah yang kami ulangi lagi janji ini terhadap kami dan kami pasti melaksanakan demikian itu”. (Q. S. Anbia: 104).
Rasulullah SAW melanjutkan sabdanya: “lalu saya diberi tahu” : “Orang-orang itu tidak henti-hentinya melakukan kemurtadan. Berbalik pada tumit mereka sejak engkau berpisah dengan mereka”.
Oleh sebab itu, saya selalu berkata: “ Celaka, celaka mereka itu”. (HR. Bukhari, Muslim, Tarmidzi, dan Nasa’i). Diriwayatkan pula oleh Abu Barzah al-Asiami ra, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: “tidak henti-hentinya seseorang itu berdiri (pada hari kiamat) sehingga ia ditanya perihal:
a.       Usianya, untuk apa dihabiskan.
b.      Ilmu pengetahuannya, untuk apa dipergunakan.
c.       Hartanya, dari mana diperolehnya.
d.      Dan untuk apa di nafkahkannya.
e.       Badannya, untuk apa dipekerjakan hingga tuanya”. (HR. Tarmidzi).

3.      Perhitungan dan Pembuktian
Menghitung amalan-amalan dan mencatatnya ialah dengan perantara malaikat yang memang diserahi tugas untuk itu, sebagaimana yang sudah diuraikan secara lengkap di dalam pembahasan bab malaikat. Firman Allah SWT: “Dan sesungguhnya diatasmu semua ada malaikat yang menjaganya, mula-mula (di sisi Allah SWT), serta mencatat (segala perbuatannya) lagi mengetahui apa saja yang kamu semua kerjakan”. (QS. Infithar: 10-12)
Tidaklah manusia itu mengatkan suatu ucapan, melainkan isi-isinya pada malaikat penyelidik dan peneliti. (Raqib dan Atid) (QS. Qaf: 18).
Jadi apabila kiamat sudah tiba dan waktu hisap sudah mulai maka catatan yang dibikin malaikat, yang didalamnya berisi segala macam amal perbuatan itulah yang akan ditunjukkan kepada pelakunya masing-masing.
4.      Allah SWT yang Menguasai Pelaksanaaan Hisab
Allah SWT sendiri yang akan mengadakan perhitungan amal seluruh makhluk ini dan tidak dengan perantaraan siapa pun juga.
Ini disebutkan dalam sebuah Hadits yang di ceritakan dari ‘Adiy bin Hatim ra, bahwa Rasulullah SAW Bersabda: “Tidak seorang pun dari kamu semua pada hari kiamat nanti, melainkan akan diajak bicara oleh Tuhannya sendiri. Antara orang itu dengan Tuhan tidak ada perantarannya sama sekali. Ia akan melihat kearah kananya, maka tidak ada yang dapat melihat selain amalan yang telah dilakukan. Ia lalu melihat kearah kirinya, juga tidak ada yang dapat melihat selain amalan yang telah dilakukan. Kemudian ia melihat kearah mukannya, maka tidak dapat dilihat melainkan neraka belaka dihadapan itu. Oleh sebab itu hendaklah kamu semua takut kepada neraka itu, sekalipun dengan jalan bersedekah sepotong kurma”. (HR. Bukhari, Muslim, Tarmidzi).

5.      Kerahmatan Allah SWT Kepada Orang Mukmin Di waktu Hisab
Orang mukmin dalam nisabnya oleh Allah SWT sengaja tidak di peruncingkan atau diperdalamkan, sebab barang siapa yang amat teliti sekali dalam hisabnya, maka itu pun sudah merupakan siksaan tersendiri pula.

Ibnu Umar ra. Pernah Bertanya: “Bagaimanakah yang saudara pernah dengar dari Rasulullah SAW perilah perbisikan (pembisikan yang dilakukan oleh Allah SWT terhadap hamba-Nya yang beriman di alam akhirat nanti?” Ibnu Umar lalu berkata: ”Saya pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Seorang dari kamu semua itu akan mendekat kepada Allah SWT (pada hari kiamat), sehingga Allah SWT meletakkan tabirnya kepada orang itu kemudian berfirman: “Apakah enkau juga melakukan yang demikian? Orang itu berkata pula: Ya. “Allah lalu menetapkan dosa-dosanya selain dengan ucapannya”. Selanjutnya Allah SWT berfirman pula: “aku telah menutupi dosamu yang telah kau lakukan di dunia dan sudah aku ampuni pula semua itu pada hari ini”. Orang tersebut lalu diberi catatan amalan baiknya. Adapun orang-orang kafir maka mereka itu akan dipanggil dengan disaksikan oleh khalayat ramai: “itulah orang-orang yang mendustakan Tuhannya. Ingatlah, kelaknatan Allah SWT adalah atas semua orang yang menganiaya (dirinya sendiri)”. (HR. Bukhari dan Muslim).


Sumber :
Notowowidagdo, Rahiman. Ilmu Budaya Dasar Berdasarkan Al-Quran dan Hadits. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2002
Tri Prasetya, Joko. Ilmu Budaya (Lengkap). Jakarta: PT. Rineka Cipta. 1998
Wiagdho, Djoko. Ilmu Budaya Dasar. Jakarta: PT. Bumi Aksara. 2003

Comments