Sikap Mengakui Kesalahan pada Diri Sendiri


Setiap manusia di dunia
Pasti punya kesalahan
Tapi hanya yang pemberani
Yang mau mengakui
(Sherina M. – Persabahatan OST Petualangan Sherina)

Yuhuuu! Seneng deh mendengar lagu yang satu ini. Masih terngiang-ngiang di dalam kepala. So, Pada kesempatan kali ini saya akan menceritakan mengenai sikap mengakui kesalahan pada diri sendiri. Pada dasarnya kita sebagai manusia pasti pernah melakukan kesalahan baik itu disengaja maupun tidak disengaja. Menyadari bahwa kita sudah berbuat salah itu tidak sulit. Apabila ada sesuatu yang terasa mengganjal dan sepertinya perasaan hati berubah tidak nyaman, maka bersyukurlah karena kita masih memiliki hati nurani. Hati nurani berarti penerapan kesadaran moral yang tumbuh dan berkembang dalam hati manusia. Biasanya secara otomatis alat sensor alamiah yaitu hati nurani akan berbisik perlahan bahwa something doesn’t smell right. Justru bahaya apabila alat sensor ini sudah tidak berfungsi, dan apapun yang kita lakukan, kita merasa itu sudah paling benar.
Pernahkah kita menghitung berapa dosa yang telah kita lakukan dalam satu hari? Kita terlalu terbiasa menghadapinya sehingga lupa bahwa itu juga dosa walau kecil itu seperti bergosip, berbohong, menyakiti hati orang lain, dan sebagainya. “Gajah di pelupuk mata tak tampak, semut di seberang lautan tampak”. Pernah mendengar pepatah tersebut? Yaa tidak sedikit dari kita yang lebih memperhatikan dan mengevaluasi kesalahan orang lain, namun kesalahan pada diri sendiri tidak pernah kita evaluasi.
Kita pasti ingin kesalahan kita dimaafkan. Saling menyalahkan memang lebih mudah daripada saling memaafkan. Hal semacam ini telah kita tutupi dengan sifat keegoisan yang ada pada diri kita. Sifat egois merupakan penghalang utama untuk jujur mengakui kesalahan yang sudah dilakukan. Ego inilah yang dapat membuat manusia menjadi jahat. Entah karena malu untuk mengakui kesalahan atau karena alasan lain, lebih baik kita jauhkan dulu sifat egois di dalam diri ini. Lalu kenapa kita tidak memaafkan kesalahan orang lain terlebih dahulu? Cara mengakui kesalahan yang paling tepat adalah selalu mengutamakan kejujuran, siap menerima segala konsekuensinya dan kemudian memperbaiki kesalahan tersebut.
Saya pernah mengalami kejadian yang menurut saya itu menyebalkan dan menyedihkan. Kala itu saya tidak mengikuti UTS dikarenakan saya terlambat datang ke kampus. Saya sampai kampus itu pas dengan bel berakhirnya UTS. Saya sudah mencoba lapor ke ruang koordinator, tetapi kata mereka apa? “tidak ada toleransi untuk alasan terlambat”. Disitu saya merasa kesal, marah se-marah-marahnya. Entah siapa yang harus disalahkan. Saat itu saya UTS masuk siang jam 11. Saya sudah bangun dari subuh untuk belajar karena saya tidak terlalu memahami materi mata kuliah tersebut. Ketika waktu sudah menunjukkan pukul setengah 8, kakak saya masuk ke kamar mandi dan dia baru keluar sejam kemudian. Langsung saja saya buru-buru mandi dan bersiap berangkat dengan waktu yang mepet. Setibanya di stasiun, kereta mengalami antrian. Kereta yang saya tumpangi mengalami antrian selama hampir 2 jam. Saya tidak tahu lagi harus berbuat apa. Disitu saya sudah panik karena saya pasti akan terlambat. Setibanya di stasiun tujuan, tanpa mikir lagi untuk meminta surat keterangan keterlambatan kereta, saya langsung bergegas ke kampus. And finally saya tidak boleh mengikuti ujian. Saya menangis dan menyalahkan apa yang ada di sekitar saya. Lalu saya menghubungi dosen mata kuliah tersebut untuk meminta tugas pengganti UTS, dan Alhamdulillah saya diberikan kesempatan untuk mengerjakan tugas pengganti UTS. Setidaknya saya tidak mendapatkan nilai E pada mata kuliah tersebut. Pada akhirnya saya mulai merenungi kesalahan saya. Itu bukan salah siapa-siapa. Kakak saya memang selalu lama di kamar mandi, dan seharusnya saya mandi lebih dahulu dibandingkan dia. Dan untuk keterlambatan kereta, saya juga tidak bisa menyalahkannya karena jadwal keberangkatan yang terlambat. Kereta juga mempunyai antrian keberangkatan dan saya tidak mungkin meminta kepada masinisnya untuk cepetan. Memangnya ini ojek?
Lalu ketika saya mengalami pertengkaran dengan teman saya. Karena kami merasa sama-sama benar, akhirnya kami saling diam-diaman. Padahal kami masih dalam 1 genk (haha genk?), tapi hanya kami berdua yang tidak saling bicara, dan itu sudah berjalan selama beberapa bulan.  Yaaa mungkin ada 2 atau 3 bulanan deh. Padahal dalam Islam memutuskan tali silaturahmi itu tidak boleh lebih dari 3 hari lho. Dan masalahnya adalah ego lagi. Ego yang ada di diri kami sangatlah besar sehingga malu untuk mengakui kesalahan. Namun di sisi lain, saya merasa ingin memulai persahabatan kembali dengan dia, dan lagi-lagi ego yg menghalangi jalan saya. Saya berfikir, kalau bukan saya yang mulai, siapa lagi? Sesekali saya mulai ajak dia ngobrol seperti teman lain walaupun masih di cuekin (hiks sedih amat). Teman saya yang satu lagi tetap menyemangati saya dan bilang jangan menyerah. Seiring berjalannya waktu, akhirnya kami kembali berteman dan saling memaafkan satu sama lain.
Well, dari cerita yang telah saya paparkan tadi, ada hikmah dari semua ini lho. Dengan mengakui kesalahan, kita dapat belajar lebih dewasa. Fikirannya tidak kanak-kanak lagi yang mainnya “musuh-musuhan”. Ini bisa menjadi modal yang baik dalam bersosialisasi dengan lingkungan. Fakta bahwa kita sekarang bisa lebih tenang menghadapi segala sesuatu, termasuk menghadapi kritikan, adalah mengakui bahwa dulu kita pernah membuang banyak waktu membalas menyerang yang mengkritik, tanpa bersikap tenang dan menginstropeksi diri terlebih dahulu.
Ada dua hal yang paling sulit dilakukan oleh manusia. Yang pertama adalah mengakui kesalahan pada diri kita sendiri, sedangkan yang kedua adalah menerima kekalahan diri kita dengan lapang dada. Berani akui kesalahan itu memang tidak mudah, tetapi kita bisa!

Comments