A. MAKNA KEADILAN
Manusia sebagai makhluk
Tuhan adalah makhluk yang tertinggi yang mamiliki gejala-gejala istimewa yang
hanya terdapat pada benda mati ataupun benda manusia saja, dan tidak terdapat
pada manusia saja, dan tidak terdapat pada benda mati ataupun benda hidup
seperti pada hewan ataupun pada tumbuh-tumbuhan. Gejala-gejala istimewa itu
bisa digolongkan menjadi tiga jenis yang disebut akal,rasa dan kehendak akal.
Manusia sebagai makhluk
Tuhan memiliki sifat kodrat yaitu sifat kodrat perseorangan atau juga disebut
makhluk pribadi (individu) dan sifat kodrat masyarakat atau disebut makhluk
sosial.
Di dalam istilah
filsafat, kedua sifat kodrat manusia ini disebut sifat kodrat modualis manusia.
Ditinjau dari segi kepentingan hidupnya, mansia sebagai makhluk pribadi
mengatur hubungannya untuk kepentingan diri sendiri, sedangkan manusia sebagai
makhluk sosial mengatur hubungannya antara manusia yang satu dengan manusia
yang lainnya.
Di dalam mengatur
hubungan kodrat manusia ini perlu adanya ini keserasian, keseimbangan,
kesesuaian ataupun kesamaan dalam tingkah laku baik untuk kepentingan pribadi
ataupun kepentingan masyarakat. Kemampuan yang demikian itu menjelma sebagai
tingkah laku adil yang kemudian menjadi tujuan umat manusia dalam mengatur
kehidupannya. Oleh sebab itu tingkah laku adil atau menjadi tumpuan harapan
manusia, semua orang menghadapi keadilan.
Keadilan adalah
pengakuan dan perlakuan yang seimbang antara hak dan kewajiban. Jika kita
mengetahui hak hidup kita, maka sebaiknya kita wajib mempertahankan hak hidup
tersebut dengan bekerja keras tanpa merugikan orang lain. Sebab orang
lainpun mempunyai hak seperti itu. Jadi keadilan pada pokoknya
terletak pada keseimbangan atau keharmonisan antara menuntut hak dan
menjalankan kewajiban.
Berdasarkaan kesadaran
etis, kita diminta untuk tidak hanya menuntut hak dan duka
menjalankan kewajiban jika kita hanya menuntut hak dan lupa menjalankan
kewajiban maka sikap dan tindakan kita akan mengarah kepada pemerasan dan
memperbudak orang lain. Sebaiknya jika kita hanya menjalankan kewajiban dan
lupa menuntut hak maka kita hanya menjalankan kewajiban dan lupa menuntut hak
maka kita akan mudah diperbudak atau diperas orang lain. Sebagai contoh,
seseorang karyawan yang hanya menuntut hak kenaikan upah dan tanpa meningkatkan
hasil kerjanya, tentu cenderung disebut pemeras sebaliknya jika seorang majikan
yang terus-menerus memeras tenaga orang lain, tanpa memperhatikan kenaikan upah
dan kesejahteraannya maka perbuatannya itu semua merupakan suatu ketidakadilan.
Dengan keinsyafan dan
kesadaran akan keadilan, kita akan mampu memenuhi cipta rasa dan kasra manusia
terhadap sesama atau pihak lain, sehingga akan membentuk hati nurani manusia,
yang kita sebut: cinta kasih. Keadilan dan cinta kasih ini merupakan sikap
tingkah laku yang dapat dipisah-pisahkan. Keduanya saling berhubungan dan
saling mengisi. Diantara keadilan dan cinta kasih terdapat sendi pokok tingkah
laku manusia yang mewujudkan perasaan hati nurani manusia untuk mempertimbangkan,
bilamana perlu memberanikan diri untuk mengurangi hak-hak sendiri. Bahkan demi
keadilan dan cinta kasih, manusia rela mengurangi dan bahkan mengorbankan
hak-haknya sendiri untuk kepentingan umum atau untuk kepentingan negara dan
bangsanya, tingkah laku inilah yang dinamakan “rela berkorban”. Kedilan itu
sendiri tidak pernah berubah makna dan prinsipnya; yang berubah hanyalah
bagaimana cara seseorang menafsirkannya, yang berubah hanyalah bagaimana cara
pelaksanaannya.
Apabila seseorang
ataupun golongan hanya mementingkan hak dan kewajiban sendiri tanpa memirkirkan
kepentingan orang lain atau pun golongan lainnya, terjadilah kedilan semu.
Misalnya saja:
a. Pengusaha : bagi mereka menamakan adil, apabila
keuntungan terbesar jatuh pihak pedagang
b. Buruh : bagi buruh menganggap adil apabila
dibayar pada waktunya dan keuntungan perusahaan juga dibagi wajar pada kaum
buruh.
c. Golongan
demokrat : menganggap adil
apabila kepentingan rakyat selalu diutamakan.
d. Golongan
komunis : menganggap adil
sekiranya hak milik perseorangan ditiadakan.
Khong HUTSU, seorang
filosof Cina menuturkan tentang keadilan dan berpendapat sebagai berikut: “Bila
anak sebagai anak, bila ayah sebagai ayah, bila raja sebagai raja,
masing-masing telah melaksanakan kewajibannya, maka itulah kewajiban”.
Aristoteles mengatakan
bahwa keadilan adalah suatu kelayakan dalam tindakan manusia. Kemudian pidato
menganggap bahwa keadilan itu merupakan kewajiban tertinggi dalam kehidupan
negara yang baik, sedangkan orang yang adil adalah orang yang mampu mengendalikan
diri, perasaannya dikendalikan oleh akal sehat.
Agar pengertian kita
tentang adil marilah kita baca batasan adil menurut “Ensikloperli
Indonesia”, adalah:
1.
Tidak berat sebelah atau tidak memihak
kesalah satu pihak
2.
Memberikan sesuatu kepada setiap orang
sesuai dengan hak yang harus diperolehnya.
3.
Mengetahui hak dan kewajiban, mengerti
mana yang benar dan mana yang salah, bertindak yang jujur yang tepat menurut
peraturan atau syarat dan rukun yang telah ditetapkan. Tidak sewenang-wenag dan
tidak maksiat atau berbuat dosa.
4.
Orang yang berbuat adil, kebalikan dari
fasiq. Adil adalah sendi pokok di dalam soal hukum, setiap orang harus
merasakan keadilan. Perbedaan tingkat dan kedudukan sosial, perbedaan derajat
dan keturunan, tidak boleh untuk dijalankan alasan untuk memperbedakan hak
seseorang dihadapan hukum, baik hukum Tuhan maupun hukum yang dibuat manusia.
Adil diperintahkan oleh Tuhan: “Dan jika kamu memutuskan perkara, hukumlah
antara mereka dengan adil, sesungguhnya Allah cinta kepada orang-orang yang
berbuat adil”. (Q. S. Al-Maidah; 42).
Ditinjau dari bentuk
apapun sifat-sifatnya, keadilan dapat dikelompokkan menjadi tiga jenis:
1.
Keadilan legal atau keadilan moral.
Pidato berpendapat
bahwa keadilan dan hukum merupakan subtansi rohani umum dari masyarakat yang
membuat dan menjaga kesatuannya. Dalam suatu masyarakat yang adil setiap orang
menjalankan pekerjaannya yang menurut sifat dasarnya paling cocok bagiannya.
Pendapat pidato itu disebut keadilan moral, sedangkan sunoto menyebutkan keadilan
legal.
2.
Keadilan komutatif.
Keadilan ini bertujuan
memelihara ketertiban masyarakat dan kesejahteraan umum. Bagi Aristoteles
pengertian keadilan itu merupakan asas pertalian dan ketertiban dalam
masyarakat.
Keadilan dan
ketidakadilan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia kerena dalam
kehidupannya manusia menghadapi keadilan/ ketidakadilan setiap hari. Oleh sebab
itu, keadilan dan ketidakadilan menimbulkan daya kreatifitas manusia. Banyak
hasil seni luar dan imajinasi ketidakadilan, seperti seni drama, seni puisi,
novel, musik, film, filasafat, dan lain-lain.
Dalam kehidupan
sehari-hari sering terjadi orang “menghakimi sendiri”. Perbuatan itu sama
halnya dengan mencapai “keadilan” sendiri, yang akibatnya “ketidakadilan” bagi
yang “dihakimi”. Pada hakikatnya keadilan-keadilan tercipta mewujudkan
masyarakat yang adil, sejahtera, dan sentosa.
B. KEADILAN SOSIAL
Berbicara tentang
keadilan, kita ingat pada pancasila. Sila kedua: “ kemanusiaan yang adil
dan beradab”. Dan sila kelima: “keadilan sosial adalah langkah yang menentukan
untuk melaksanakannya indonesia yang adil dan makmur”.
Panitia ad-hoc MPRS
tahun 1966 memberikan perumusan sebagai berikut: “sila keadilan sosial
mengandung prinsip bahwa setiap orang di indonesia akan mendapat perlakuan yang
adil dalam bidang hukum, pilitik, ekonomi, dan kebudayaan”.
Selanjutnya untuk
mewujudkan keadilan sosial untuk diperinci perbuatan dan sikap yang perlu di
pupuk yaitu:
a.
Perbuatan luhur yang mencerminkan sikap
dan suasana kekeluargaan dan kegotongroyongan.
b.
Sikap adil terhadap sesama, menjaga
keseimbangan antara hak dan kewajiban serta menghormati hak-hak orang lain.
c.
Sikap suka memberi pertolongan kepada
orang yang memerlukan
d.
Sikap suka bekerja keras
e.
Sikap menghargai hasil karya orang lain
yang bermamfaat untuk mencapai kemajuan dan kesejahteraan bersama.
Asas yang menuju
terciptanya keadilan sosial itu akan dituangkan dalam berbagai langkah dan
kegiatan, antara lain: memalui 8 jalur pemetaraan, yaitu:
a.
Pemenuhan kebutuhan pokok rakyat banyak,
pemerataan khususnya pangan, sandang dan perumahan
b.
Pemerataan memperoleh pendidikan dan
pelayanan kesehatan
c.
Pemerataan pembagian pendapat
d.
Pemerataan kesempatan kerja
e.
Pemerataan kesempatan berusaha
f.
Kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan,
khususnya bagi generasi muda dalam kaum wanita
g.
Pemerataan penyebaran pembangunan
diseluruh wilayah tanah air, dan
h.
Pemerataan memperoleh keadilan
Dengan pelaksanaan 8
jalur Pemerataan itu dimaksudkan pemerintahan penyejahteraan negara dan bangsa,
seperti yang dikatakan Ki Dalang: “Negara yang sangat terkenal tinggi
kewibawaanya, makmur, teratur, aman tenteram dan sejahtera”.
C. KEJUJURAN
Jujur atau kejujuran
berarti apa yang dikatakan seseorang sesuai dengan hati nuraninya. Jujur
berarti pula menempati janji atau menempati kesanggupan, baik yang telah
terlahir dan kata-kata maupun yang masih di dalam hati (niat). Jadi, seseorang
yang tidak menempati niatnya berarti mendustai dirinya sendiri. Apabila niat
tadi telah terlahir dalam kata-kata, padahal tidak tepati maka kebohongannya
disaksikan orang lain.
Berbagai macam hal yang
menyebabkan orang berbuat tidak jujur. Mungkin karena tidak rela, mungkin
karena pengaruh lingkungan. Karena sosial ekonomi, karena ingin populer, karena
sopan santun, dan untuk mendidik.
Untuk mempertahankan
suatu kejujuran, berbagai cara dan sikap perlu dipupuk. Namun, demi sopan
santun dan pendidikan, orang diperbolahkan berkata tidak jujur sampai pada
batas-batas yang dapat dibenarkan.
Maka dari sekarang
belajarlah bersifat jujur, sebab kejujuran mewujudkan keadilan, sedangkan
keadilan maupun kemuliaan adalah abadi. Jujur memberikan keberanian dan
ketentraman hati, serta menyucikan, lagi pula membuat luhurnya budi pekerti.
Seseorang mustahil dapat memeluk agama dengan sempurna, apabila lidahnya tidak
suci. Teguhlah pada kebenaran, sekalipun kejujuran dapat merugikanmu, serta
jangan lupa mendusta, walaupun dustamu menguntungkanmu.
Pada hakikatnya jujur
atau kejujuran yang ditandai oleh kesadaranmoral yang tinggi, kesadaran pengakuan
akan adanya hak dan kewajiban, serta adanya rasa takut terhadap dosa kepada
Tuhan.
D. KECURANGAN
Kecurangan atau curang
identik dengan ketidakjujuran atau tidak jujur, dan sama pula dengan lirik,
meskipun tidak serupa benar. Sudah tentu kecurangan sebagai lawan jujur.
Curang atau kecurangan artinya apa yang
dikatakan tidak sesuai dengan hati nuraninya. Atau orang itu memang dari
hatinya sudah berniat curang dengan maksud memperoleh keuntungan tanpa
bertenaga dan susah? Sudah tentu keuntungan itu diperoleh dengan tidak wajar.
Mereka yang berbuat curang menganggap akan mendatangkan kesenangan atau
keenakan, meskipun orang lain menderita karananya.
Kecurangan menyebabkan
manusia menjadi serakah, tamak, ingin menimbun kekayaan yang berlebihan dengan
tujuan agar di anggap sebahagai orang paling hebat, paling kaya, dan senang
bisa masyarakat disekalilingnya hidup menderita. Orang seperti itu biasanya
tidak senang bila ada melebihi kekayaannya. Padahal agama apapun tidak
membenarkan orang mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya tanpa menghiraukan
orang lain, lagi pula mengumpulkan harta dengan jalan curang. Hal semacam itu
dalam istilah agama tidak di ridhai Tuhan.
Bermacam-macam orang
melakukan kecurangan. Ditinjau dari hubungan manusia dengan alam sekitarnya, ada
empat aspek yakni aspek ekonomi, kebudayaan, peradaban, dan tekhnik. Apabila
keempat aspek tersebut dilaksanakan secara wajar, maka segalanya akan berjalan
sesuai dengan norma-norma moral atau norma hukum.
Tentang baik dan buruk
ini Pujowiyatno dalam bukunya: “Filsafat sana-sini”, menjelaskan bahwa
perbuatan yang sejenis dengan perbuatan curang, misalnya berbohong, menipu,
merampas, memalsu, dang yang lainnya adalah bersifat buruk. Lawan buruk sudah
tentu baik. Baik buruk itu berhubungan dengan kelakuan manusia.
Kecurangan dan
sifat-sifat jahat yang serupa seperti penipuan, pemalsuan, pembohong,
perampokan dan lain-lain merupakan bagiab hidup manusia. Setiap hari manusia
menghadapi hal-hal buruk itu dalam bentuk yang berbeda-beda. Bermacam ragam
orang berbuat curang dan sungguh luas kawasannya; cara dan kawasan itu sesuai
dengan kemajuan teknologi dan kebutuhan hidup manusia.
Selain dari pada itu,
kehidupan selalu ada baik dan buruk. Dalam konflik, yang baik selain menang,
meskipun pada mulanya kalah, yang baik itulah yang sesuai dengan kata hati.
Seperti halnya Rahwana yang tidak baik, maka adiknya Kumbakarna dan Wibisana
tidak mau membela yang tidak baik karena kedua adiknya mengikuti kata hatinya.
Kecurangan banyak
menimbulkan daya kreatifitas bagi seniman. Oleh karena itu, banyak hasil seni
yang lahir dari imajinasi kecurangan. Hasil selain itu, antara lain seni tari,
sastra, drama, film, filsafat dan lain-lain.
E. PEMULIHAN NAMA BAIK
Nama baik merupakan
salah satu tujuan utama orang hidup. Nama baik adalah nama yang tidak tercela.
Setiap orang menjaga hati-hati agar namanya tetap baik.
Ada pribahasa yang
berbunyi: “dari pada berputih mata lebih baik berputih tulang”, artinya orang
lebih baik mati dari pada malu. Betapa besar nilai nama baik itu sehingga nyawa
menjadi taruhannya. Setiap orang tua selalu berpesan kepada anak-anaknya:
“ jagalah nama keluargamu”. Dengan menyebut “ nama” berarti sudah
mengandung arti “nama baik”.
Penjagaan nama baik
erat hubungannya dengan tingkah laku atau perbuatan. Atau boleh dikatakan nama
baik atau tidak baik itu adalah tingkah laku atau perbuatannya yang dimaksud
dengan tingkah laku atau perbuatan itu, antara lain berbahasa, cara bergaul,
sopan santun, disiplin pribadi, cara menghadapi orang, perbuatan-perbuatan yang
di halalkan agama dan sebagainya.
Tingkah laku atau
perbuatan yang baik dengan nama baik itu pada hakikatnya sesuai dengan kodrat
manusia, yaitu;
a.
Manusia menurut sifat dasarnya adalah
makhluk moral.
b.
Ada aturan-aturan yang berdiri sendiri
yang harus dipatuhi manusia untuk mewujudkandirinya sendiri sebagai pelaku
moral tersebut.
Pada hakikatnya,
pemulihan nama baik adalah kesadaran manusia akan segala kesalahannya; bahwa
apa yang diperbuatnya tidak sesuai dengan ukuran moral atau tidak sesuai
akhlak.
Akhlak berasal dari
bahasa Arab akhiaq bentuk jamak dari khuluq dan dari akar kata khiaq yang
berarti penataan. Oleh karena itu, tingkah laku dan perbuatan manusia harus
disesuaikan dengan penciptanya sebagai manusia. Untuk itu, orang harus
bertingkah laku dan berbuat sesuai dengan akhlak yang baik.
Ada tiga macam godaaan
yaitu; derajat/ pangkat, harta dan wanita. Bila orang tidak dapat menguasai
hawa nafsunya, maka orang akan terjerumus kejurang kenistan karena untuk
memiliki derajat/ pangkat, harta dan wanita itu dengan mempergunakan jalan yang
tidak wajar. Jalan itu antara lain, fitnah, pembohong, suap, mencuri, merampok,
dan menempuh semua jalan yang di haramkan.
Ada godaan halus yang
bahasa Jawa, adigang, adingung, adiguna, yaitu membanggakan kekuasaannya, kebesarannya.
Semua itu mengandung arti kesombongan.
Untuk memulihkan mana baik, manusia
harus taubat dan minta maaf. Tobat dan minta maaf tidak hanya dibibir,
melainkan harus bertingkah laku yang sopan, ramah; membuat budi darma dengan
memberikan kebajikan dan pertolongan kepada sesama hidup yang perlu ditolong
dengan penuh kasih sayang, tanpa pamrih, takwa kepada Tuhan, dan mempunyai
sikap rela, tawakal, jujur, adil dan budi luhur selalu dipupuk.
F. PERHITUNGAN (HISAB) DAN PEMBALASAN
1.
Hisab, Puncak Penerapan Keadilan Ilahi
Allah SWT memiliki
sifat kesempurnaan. Salah satu dari sifat-sifat kesempurnaan-Nya ialah keadilan
dan kebijaksanaan. Dia adalah Maha Adil dan tidak akan menganiaya ataupun
merugikan seorang pun dari seluruh makhluknya. Dia Maha Bijaksana, maka dia
tidak akan meletakkan sesuatu itu bukan pada tempatnya.
Setengah dari keadilan
dan kebijaksanaan Allah SWT adalah bahwa Dia tidak akan mempersamakan antara
orang yang berbakti dan taat dengan orang kafir dan durhaka, antara orang
mukmin dan orang musyrik, juga antara orang yang berbuat baik dan berbuat buruk
dan demikian seterusnya.
Allah SWT telah
mengutus para Rasul-Nya dengan membawa keterangan-keterangan yang jelas dan
bukti-bukti yang nyata. Mereka diberi kitab suci serta keagamaan, agar dipergunakan
untuk berbuat yang seadil-adilnya antara seluruh umat manusia.
2.
Tata Cara Pelaksanaan Kitab
Setelah Allah SWT
menghidupkan seluruh makhluk dengan gaya baru, lalu mereka di kumpulkan di
sisi-Nya. Mereka digiring untuk berkumpul di padang masyar. Perlunya ialah
setiap orang akan dihisap (akan diperhitungkan amalnya), baik yang berupa
kebaikan maupun keburukan. Bumi pun akan menjadi saksi atas hal-hal yang
terjadi diatasnya. Hal ini jelas disebutkan dalam Firman Allah SWT: “Dengan
menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang”.
Apabila bumi
digoncangkan dengan kegoncangan yang hebat. Dan bumi mengeluarkan isi
kandungannya. Dan manusia mengatakan: ada apakah itu?. Pada hari itu bumi
menceritakan peristiwanya. Karena sesungguhnya Tuhan mu telah mewahyukan
padanya.
Pada hari itu manusia
bangkit dengan bermacam-macam, agar kepada mereka itu dapat diperlihatkan
amalan-amalan yang sudah-sudah. Maka barang siapa yang mengerjakan kebaikan
seberat debu, ia akan melihatnya. Dan barang siapa yang mengerjakan keburukan,
sekalipun sebesar debu, ia juga akan melihatnya. (Q. S. Zilzal: 1-8).
Sebagaimana bumi itu menceritakan
peristiwa-peristiwa tentang diri manusia itu masing-masing maka lidah,
tangan, kaki, dan kulitnya sendiripun menjadi saksi atas perbuatan diri
pribadinya.
Di ceritakan dari Ibnu
Abbas ra, katanya: “pada suatu ketika Rasulullah SAW berdiri dihadapan kita
semua untuk memberikan suatu nasihat”. Lalu Rasulullah SAW bersabda: “Hai
sekalian manusia, sesungguhnya kamu semua akan dikumpulkan kepada Allah SWT
nanti dengan tidak beralas kaki, telanjang dan tidak berkain”. Sebagai mana
Firman Allah SWT: “Sebagaimana dahulu mula-mula kami menciptakan untuk pertama
kalinya. Itulah yang kami ulangi lagi janji ini terhadap kami dan kami pasti
melaksanakan demikian itu”. (Q. S. Anbia: 104).
Rasulullah SAW
melanjutkan sabdanya: “lalu saya diberi tahu” : “Orang-orang itu tidak
henti-hentinya melakukan kemurtadan. Berbalik pada tumit mereka sejak engkau
berpisah dengan mereka”.
Oleh sebab itu, saya
selalu berkata: “ Celaka, celaka mereka itu”. (HR. Bukhari, Muslim,
Tarmidzi, dan Nasa’i). Diriwayatkan pula oleh Abu Barzah al-Asiami ra,
bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: “tidak henti-hentinya seseorang itu berdiri
(pada hari kiamat) sehingga ia ditanya perihal:
a.
Usianya, untuk apa dihabiskan.
b.
Ilmu pengetahuannya, untuk apa
dipergunakan.
c.
Hartanya, dari mana diperolehnya.
d.
Dan untuk apa di nafkahkannya.
e.
Badannya, untuk apa dipekerjakan hingga
tuanya”. (HR. Tarmidzi).
3.
Perhitungan dan Pembuktian
Menghitung amalan-amalan
dan mencatatnya ialah dengan perantara malaikat yang memang diserahi tugas
untuk itu, sebagaimana yang sudah diuraikan secara lengkap di dalam pembahasan
bab malaikat. Firman Allah SWT: “Dan sesungguhnya diatasmu semua ada malaikat
yang menjaganya, mula-mula (di sisi Allah SWT), serta mencatat (segala
perbuatannya) lagi mengetahui apa saja yang kamu semua kerjakan”. (QS.
Infithar: 10-12)
Tidaklah manusia itu mengatkan suatu
ucapan, melainkan isi-isinya pada malaikat penyelidik dan peneliti. (Raqib dan Atid)
(QS. Qaf: 18).
Jadi apabila kiamat
sudah tiba dan waktu hisap sudah mulai maka catatan yang dibikin malaikat, yang
didalamnya berisi segala macam amal perbuatan itulah yang akan ditunjukkan
kepada pelakunya masing-masing.
4.
Allah SWT yang Menguasai Pelaksanaaan
Hisab
Allah SWT sendiri yang
akan mengadakan perhitungan amal seluruh makhluk ini dan tidak dengan
perantaraan siapa pun juga.
Ini disebutkan dalam
sebuah Hadits yang di ceritakan dari ‘Adiy bin Hatim ra, bahwa Rasulullah SAW
Bersabda: “Tidak seorang pun dari kamu semua pada hari kiamat nanti, melainkan
akan diajak bicara oleh Tuhannya sendiri. Antara orang itu dengan Tuhan tidak
ada perantarannya sama sekali. Ia akan melihat kearah kananya, maka tidak ada
yang dapat melihat selain amalan yang telah dilakukan. Ia lalu melihat kearah
kirinya, juga tidak ada yang dapat melihat selain amalan yang telah dilakukan.
Kemudian ia melihat kearah mukannya, maka tidak dapat dilihat melainkan neraka
belaka dihadapan itu. Oleh sebab itu hendaklah kamu semua takut kepada neraka
itu, sekalipun dengan jalan bersedekah sepotong kurma”. (HR. Bukhari, Muslim,
Tarmidzi).
5.
Kerahmatan Allah SWT Kepada Orang Mukmin
Di waktu Hisab
Orang mukmin dalam
nisabnya oleh Allah SWT sengaja tidak di peruncingkan atau diperdalamkan, sebab
barang siapa yang amat teliti sekali dalam hisabnya, maka itu pun sudah
merupakan siksaan tersendiri pula.
Ibnu Umar ra. Pernah
Bertanya: “Bagaimanakah yang saudara pernah dengar dari Rasulullah SAW perilah
perbisikan (pembisikan yang dilakukan oleh Allah SWT terhadap hamba-Nya yang
beriman di alam akhirat nanti?” Ibnu Umar lalu berkata: ”Saya pernah mendengar
Rasulullah SAW bersabda: “Seorang dari kamu semua itu akan mendekat kepada
Allah SWT (pada hari kiamat), sehingga Allah SWT meletakkan tabirnya kepada
orang itu kemudian berfirman: “Apakah enkau juga melakukan yang demikian? Orang
itu berkata pula: Ya. “Allah lalu menetapkan dosa-dosanya selain dengan
ucapannya”. Selanjutnya Allah SWT berfirman pula: “aku telah menutupi dosamu
yang telah kau lakukan di dunia dan sudah aku ampuni pula semua itu pada hari
ini”. Orang tersebut lalu diberi catatan amalan baiknya. Adapun orang-orang
kafir maka mereka itu akan dipanggil dengan disaksikan oleh khalayat ramai:
“itulah orang-orang yang mendustakan Tuhannya. Ingatlah, kelaknatan Allah SWT
adalah atas semua orang yang menganiaya (dirinya sendiri)”. (HR. Bukhari dan
Muslim).
Sumber :
Notowowidagdo, Rahiman. Ilmu Budaya
Dasar Berdasarkan Al-Quran dan Hadits. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2002
Tri Prasetya, Joko. Ilmu Budaya
(Lengkap). Jakarta: PT. Rineka Cipta. 1998
Wiagdho, Djoko. Ilmu Budaya Dasar.
Jakarta: PT. Bumi Aksara. 2003
Comments
Post a Comment